Serial Fiksi Cermin bagian 1 Bangkitnya Si Pemangsa

#1 Bangkitnya Si Pemangsa

Ampang, begitulah nama yang berikan oleh nenek tua yang pernah mengasuhnya, terlahir dengan wajah buruk rupa, konon ia terlahir dari seorang seorang perempuan malam yang tega membuangnya dibantaran sungai.

Wanita berusia 35 tahun yang bernama Umbih merasa iba dan merawatnya apa adanya. Sayangnya, wanita itu sendiri agak sedikit kurang stabil jiwanya akibat ditinggal mati oleh suami dan anaknya, sering berprilaku aneh sehingga semua warga takut dan membenci dirinya. Kadang secara tiba-tiba, ia marah dan memaki orang tanpa alasan.

Ampang pun menjadi teman dan penghibur hatinya sebab mereka tak pernah dianggap ada dilingkungan mereka. Disaat mereka sakitpun tak ada yang menjenguknya. Untungnya mereka masih diberi umur panjang. Waktupun berlalu tanpa terasa. Kini Ampang berusia 15 tahun, menginjak masa remaja, tanpa kawan dan sanak saudara selain nenek Umbih.
****
Siang itu, ada pemuda-pemuda kampung yang berbuat iseng menakuti si nenek dengan memburunya naik sepeda motor beramai-ramai, bunyi kendaraan dan klakson yang riuh membuat wanita tua itu kaget menjadi panik dan berlari sekuat tenaga, karena letih ia terjatuh terjerembab dan terlindas beberapa sepeda motor yang memburunya.

Merasa terjatuh dari motornya, pemuda-pemuda itu naik pitam dan memukul serta menginjak-injak nenek Umbih tanpa belas kasihan. Setelah mereka puas mereka meninggalkannya tergeletak sekarat, bahkan warga yang lewat seolah tak melihat kejadian tersebut, hanya melintas dengan kendaraannya tanpa peduli. Sungguh malang, ia meninggal tanpa pertolongan siapapun.

Saat itu Ampang tengah memancing dipinggir sungai tempat ia dibuang dulu, hari itu nenek Umbih berkali-kali merengek ingin sekali makan ikan bakar dan singkong bakar. Ampang sudah membakar ikan dan singkong yang diminta nenek Umbih. Ampang menunggu nenek Umbih pulang dengan sabar, meski lapar ia tak mau makan sebelum nenek Umbih pulang.

Namun hingga sore itu menjelang tak ada tanda perempuan tua itu pulang ke rumah mereka yang reot, ia menjadi cemas karena nenek Umbih tidak pulang, ia mencarinya dengan menyusuri jalan yang sering dilalui nenek Umbih, sebab biasanya nenek itu hanya berjalan-jalan sebentar kemudian pulang.

Sampai akhirnya ia menemukan nenek Umbih di ujung aspal perbatasan desa. Ia berusaha membangunkan nenek Umbih berkali-kali agar siuman, berlinangan airmatanya melihat darah yang keluar dari hidung dan telinga perempuan tua itu sudah mengering. Badannya begitu dingin dan matanya kosong tak berkedip.

Ampang sangat berduka, akhirnya ia menggendong nenek Umbih pulang, meski beberapa kali ia terjatuh karena membawa jenazah nenek Umbih sambil menangis, meski tetangganya tahu tapi pura-pura tak melihat dan tak mendengar tangisnya. Ia membaringkan nenek Umbih diatas bantal kapuk tipis dilantai.

Akhirnya pihak pengurus masjid yang iba membantu penguburan dengan selayaknya. Ampang hanya bisa menangis dimakam nenek Umbih. Setelah kepergian nenek Umbih, warga yang tinggal di kampung disekitarnya semakin berani menyakitinya, menyebutnya si pembawa sial, dan si anak haram.

Ia selalu mengenang nenek Umbih, jika ia sedang marah atau sedih ia berdiam diri seharian tak mau di dekati. Hanya Ampang yang selalu pandai membujuk dan menghibur hatinya. Hanya saja kerap kali Ampang melarang nenek Umbih pergi keluar rumah tapi tak digubris, bahkan ada yang mengatainya Hantu Pikun. Membuat hati Ampang teriris bukan main mendengar ejekan kepada nenek Umbih itu.
****
Tak ada yang sudi lewat bersisian dengan dengan Ampang karena takut bahwa ternak mereka akan sakit, anak-anak mereka akan mengalami sakit demam, atau sejumlah hal mengerikan yang begitu alasan tetangganya untuk mengucilkannya secara terang-terangan mengusir Ampang.

Akhirnya ia memilih tinggal jauh di dalam hutan di sebuah pondok kecil dan menjual ikan hasil pancingan dan sayuran dan singkong yang ditanamnya untuk bertahan hidup, Untungnya ia punya keterampilan membuat tikar dari bahan tumbuhan berdaun lebar yang disebut Purun Tikus (Eleocharis Dulcis).

Semua berkat nenek Umbih semasa hidup, meski perempuan tua yang buta huruf itu tak jarang memukul dan memarahinya bila hasil anyamannya jelek. Kadang jika hatinya sedang senang, nenek Umbih berpuluh-puluh tikar sambil bernyanyi dan tertawa gembira menganyam tikar. Ampang pun diperlakukan dengan manis.

Ia tahu jika mereka membencinya dan tak jarang beberapa orang warga dengan sengaja meludah atau menyakitinya tanpa alasan yang jelas. Ia tak mengerti kenapa ia begitu dibenci. Ia sangat terpukul kehilangan orang yang telah membesarkannya. Ia sudah menganggapnya itu ibu kandungnya sendiri.

Ia menolak ketika ada pengurus masjid yang menawarkan pekerjaan mengisi bak wudhu dan membersihkan halaman masjid. Sebab jika ia berjalan kepinggir desa saja ada anak-anak kecil yang tega menimpukinya dengan batu, dan meneriakinya orang gila karena ia bisu dan jika dipaksa bicara pun tak jelas sebab ia gagu.

Dengan bahasa isyarat semampunya Ampang hanya meminta tolong kepada Imron seorang pengurus masjid yang juga bertugas membersihkan tempat itu untuk menjual tikar buatannya. Imron menyanggupi permintaan Ampang, dua hari sekali Ampang datang kepadanya, dan jika ada yang laku ia memberikan uang hasil penjualan.
****
Ampang duduk dengan tenang dan sabar didekat kuburan tua, ia tak ingin terlalu dekat sebab ia takut jika nantinya ia akan membuat mahluk itu kembali masuk bersembunyi tak mau lagi menampakan dirinya selama beberapa hari, padahal dia begitu berharap mempunyai teman.

Secara tidak sengaja ia menemukan tempat itu enam bulan yang lalu, ketika ia lewat tempat itu ia mendengar isak lirih yang setengah melolong, ia terkejut dan tak sengaja hewan buruan yang dibawanya jatuh kebawah lubang itu. Ia mencoba melihat mahluk apa gerangan yang ada didalam kuburan itu.

Kemudian ia mendengar suara orang tengah makan dengan lahap. Sebuah bunyi geraham yang kuat tengah memamah remuk tulang hewan buruannya dan ketajaman taringnya mencabik-cabik daging hewan itu. Kemudian ia mendengar mahluk itu mulai bergerak liar. Bulu kuduk Ampang pun berdiri, Ia pun berlari pulang.

Mula-mula Ampang takut sekali, tapi ia penasaran, dua hari kemudia ia kembali lagi dan membawa separo hewan buruannya dan melemparnya ke dalam lubang. Akhirnya, sudah menjadi rutinitas buat Ampang untuk membagi buruannya baik itu ikan dan hewan-hewan yang ia dapat dari memasang jerat.

Suasana sangat sepi hanya suara serangga-serangga kecil terdengar sesekali bersahutan, aroma hutan yang lembab dan dalam banyak nyamuk membuat Ampang sesekali menepuk nyamuk yang berkerumun didekat kakinya, tak lama tercium bau anyir yang cukup menyengat, Ampang tersenyum girang. Hatinya berdebar-debar menanti mahluk itu muncul!

Ada beberapa lalat merubung kuburang tua itu, nampak banyak sekali tengkorak hewan-hewan liar yang berserakan di sekitar kuburan, tak lama muncul sebuah kepala dengan rambut panjang awut-awutan dari celah rongga yang terkuak oleh akar pohon besar yang tumbang disamping kuburan.

Ampang memperhatikan mahluk itu dengan seksama. Dengan berdebar-debar, ia masih waswas, ditangannya tergenggam erat sebuah tombak berujung trisula yang biasa ia gunakan untuk mencari ikan. Siapa tahu ia jadi sasaran berikutnya! (bersambung)

Source Fb

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Serial Fiksi Cermin bagian 1 Bangkitnya Si Pemangsa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel