Dokter Di Indonesia Menumpuk Di Kota Besar
Jumlah dokter di Indonesia saat ini cukup untuk mencukupi seluruh rakyat. Masalahnya, dokter-dokter itu berkumpul di sejumlah kota dan provinsi tertentu.
Dokter enggan ditempatkan di daerah pedalaman karena kurangnya peralatan kesehatan.
”Persebaran dokter tidak baik karena bertumpuk di Pulau Jawa ataupun kota-kota besar,” kata Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir di Jakarta, pekan lalu.
Jika mengacu pada perhitungan beban kerja ideal dokter yang ditetapkan pemerintah, rasio satu dokter untuk 2.500 penduduk terlampaui. Rasio itu dihitung berdasarkan jumlah penduduk dengan asumsi 20 persennya sakit, luas wilayah, beban kerja, dan waktu layanan.
Menurut data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) per 9 Mei 2016, jumlah dokter 110.720 orang, artinya satu dokter melayani 2.270 penduduk. Kemristek dan Dikti ingin rasio dokter Indonesia jadi satu dokter untuk 1.100 warga, seperti di Malaysia.
Sesuai data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rasio dokter di Malaysia pada 2010 mencapai satu dokter untuk 835 penduduk. Di Singapura pada 2013, satu dokter untuk 513 penduduk.
Tidak merata
Meski rasio dokter Indonesia sudah melampaui target, mereka umumnya terkumpul di kota besar dan provinsi tertentu. Sebagai perbandingan, di DKI Jakarta, sebagai provinsi dengan rasio dokter terbaik, satu dokter menangani 608 penduduk. Di Sulawesi Barat, provinsi dengan rasio terburuk, satu dokter mengurusi 10.417 penduduk.
Meski demikian, rasio satu dokter untuk 2.500 penduduk itu tak bisa diterapkan secara merata. Di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, rasio dokter belum terpenuhi akibat jumlah penduduk besar. Di Indonesia timur, standar itu sulit diterapkan akibat wilayah luas, medan sulit, dan penduduk terpencar.
”Soal di Indonesia bukan jumlah dokter kurang, tetapi sebaran tidak merata,” kata Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri, kemarin.
Di sisi lain, dari 9.731 puskesmas yang ada, 5 persen tak punya dokter sama sekali. Sementara 9 persen puskesmas lain memiliki dokter, tetapi tempat tinggal dokternya jauh dari puskesmas karena lokasi puskesmas terpencil.
Meski pemerintah membuka berbagai program pemerataan dokter, nyatanya dokter yang berminat ditempatkan di daerah tertentu amat kurang. Dokter terkonsentrasi di daerah kaya atau daerah yang kepala daerahnya peduli kesehatan.
Selain itu, dokter cenderung memilih bekerja di daerah yang mampu memberikan insentif besar, memiliki sarana memadai untuk menunjang profesi mereka, dan menawarkan jenjang karier yang jelas.
Usman menambahkan, tidak meratanya dokter terkait kemampuan fiskal dan komitmen pemerintah daerah terhadap kesehatan. Sejak pelaksanaan otonomi daerah, penerimaan dokter menjadi kewenangan pemerintah daerah. ”Tak ada sistem makro yang bisa memaksa dokter menyebar ke daerah dengan insentif cukup,” katanya.
Dokter enggan ditempatkan di daerah pedalaman karena kurangnya peralatan kesehatan.
”Persebaran dokter tidak baik karena bertumpuk di Pulau Jawa ataupun kota-kota besar,” kata Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir di Jakarta, pekan lalu.
Jika mengacu pada perhitungan beban kerja ideal dokter yang ditetapkan pemerintah, rasio satu dokter untuk 2.500 penduduk terlampaui. Rasio itu dihitung berdasarkan jumlah penduduk dengan asumsi 20 persennya sakit, luas wilayah, beban kerja, dan waktu layanan.
Menurut data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) per 9 Mei 2016, jumlah dokter 110.720 orang, artinya satu dokter melayani 2.270 penduduk. Kemristek dan Dikti ingin rasio dokter Indonesia jadi satu dokter untuk 1.100 warga, seperti di Malaysia.
Sesuai data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rasio dokter di Malaysia pada 2010 mencapai satu dokter untuk 835 penduduk. Di Singapura pada 2013, satu dokter untuk 513 penduduk.
Tidak merata
Meski rasio dokter Indonesia sudah melampaui target, mereka umumnya terkumpul di kota besar dan provinsi tertentu. Sebagai perbandingan, di DKI Jakarta, sebagai provinsi dengan rasio dokter terbaik, satu dokter menangani 608 penduduk. Di Sulawesi Barat, provinsi dengan rasio terburuk, satu dokter mengurusi 10.417 penduduk.
Meski demikian, rasio satu dokter untuk 2.500 penduduk itu tak bisa diterapkan secara merata. Di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, rasio dokter belum terpenuhi akibat jumlah penduduk besar. Di Indonesia timur, standar itu sulit diterapkan akibat wilayah luas, medan sulit, dan penduduk terpencar.
”Soal di Indonesia bukan jumlah dokter kurang, tetapi sebaran tidak merata,” kata Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri, kemarin.
Di sisi lain, dari 9.731 puskesmas yang ada, 5 persen tak punya dokter sama sekali. Sementara 9 persen puskesmas lain memiliki dokter, tetapi tempat tinggal dokternya jauh dari puskesmas karena lokasi puskesmas terpencil.
Meski pemerintah membuka berbagai program pemerataan dokter, nyatanya dokter yang berminat ditempatkan di daerah tertentu amat kurang. Dokter terkonsentrasi di daerah kaya atau daerah yang kepala daerahnya peduli kesehatan.
Selain itu, dokter cenderung memilih bekerja di daerah yang mampu memberikan insentif besar, memiliki sarana memadai untuk menunjang profesi mereka, dan menawarkan jenjang karier yang jelas.
Usman menambahkan, tidak meratanya dokter terkait kemampuan fiskal dan komitmen pemerintah daerah terhadap kesehatan. Sejak pelaksanaan otonomi daerah, penerimaan dokter menjadi kewenangan pemerintah daerah. ”Tak ada sistem makro yang bisa memaksa dokter menyebar ke daerah dengan insentif cukup,” katanya.
0 Response to "Dokter Di Indonesia Menumpuk Di Kota Besar"
Posting Komentar